Google Play
  • Tim Yulo
  • 21 April 2025

Menjadi Kartini Masa Kini: Perjuangan Perempuan di Era Digital

Selamat Hari Kartini untuk setiap perempuan yang sedang belajar mencintai dirinya sendiri. Kita tidak harus menjadi sempurna untuk dianggap berharga. Kita hanya perlu menjadi diri sendiri, dengan segala luka, cerita, dan cahaya yang kita miliki.

Jika Kartini hidup hari ini, ia mungkin tidak menulis surat panjang kepada sahabat pena di Belanda. Ia mungkin menulis thread di X, berbagi keresahan lewat Instagram, atau membuat video edukatif di TikTok. Tapi esensinya tetap sama, suara perempuan harus didengar.

Di tahun 2025 ini, kita hidup dalam dunia yang tampak serba mudah. Perempuan bisa bersekolah setinggi-tingginya, bekerja di berbagai sektor, bahkan menjadi pemimpin suatu negara. Tapi kemudahan itu seringkali hanya kulit luar. Di balik layar, perjuangan perempuan tidak pernah benar-benar selesai. Ia hanya berganti bentuk, lebih senyap, namun tetap menguras energi.

Sebagai perempuan masa kini, kita hidup dalam tekanan yang tidak selalu terlihat. Kita dituntut untuk tampil menarik, aktif, cerdas, lembut, tidak terlalu galak, tidak terlalu ambisius, dan tetap feminin dalam segala aspek. Dunia mengajarkan kita untuk menjadi segalanya sekaligus, tanpa memberi kita waktu untuk bertanya, “Siapa aku sebenarnya?

Media sosial memperparah segalanya. Kita melihat teman-teman menikah, punya anak, promosi kerja, liburan, dan terlihat bahagia. Lalu kita mulai membandingkan hidup kita sendiri. “Kok aku belum sampai sana?”, “Apa aku tertinggal?”, “Apa aku tidak cukup?” Padahal tidak ada deadline dalam hidup. Tapi dunia seolah berkata, Cepatlah, kamu perempuan, waktumu terbatas.”

Merasa gagal hanya karena tidak sesuai timeline yang ditetapkan orang lain. Merasa bersalah karena memilih menyembuhkan diri dulu, alih-alih mengejar karir atau pernikahan. Merasa lelah karena harus selalu kuat, padahal ada hari-hari ketika kita bahkan tidak sanggup bangun dari tempat tidur.

Dan di titik itu, kita menyadari satu hal bahwa menjadi Kartini masa kini bukan hanya soal menuntut kesetaraan di ruang publik. Tapi juga soal memperjuangkan kedamaian di ruang paling pribadi, yaitu diri sendiri.

Kartini hari ini bisa jadi adalah perempuan yang baru saja mengakhiri hubungan yang tidak sehat, meski ia masih mencintai. Ia perempuan yang memilih pergi dari lingkungan kerja toxic, meski belum tahu akan ke mana. Ia perempuan yang menangis sendirian di malam hari, tetapi tetap tersenyum keesokan paginya. Ia perempuan yang menelan obat antidepresan tiap malam sambil berharap, “Semoga besok rasanya lebih baik.”

Dan itu tidak menjadikannya lemah. Justru, di situlah keberaniannya.

Perempuan masa kini tidak harus selalu memimpin demo atau berdiri di panggung seminar untuk disebut pejuang. Terkadang, perjuangan paling hebat adalah bertahan hidup dalam sunyi. Menyembuhkan luka yang tidak berdarah. Mencintai tubuh yang selama ini dihina. Memeluk diri yang dianggap terlalu sensitif, terlalu ambisius, atau terlalu “berbeda”.

Perjuangan Kartini masa kini adalah tentang membebaskan diri dari ekspektasi yang menyesakkan. Kita belajar berkata “tidak” pada standar kecantikan yang tidak realistis, berkata “cukup” pada relasi yang menyakiti, dan berkata “ya” pada mimpi-mimpi yang selama ini kita kubur karena takut dinilai egois.

Dan satu lagi, kita belajar berdamai dengan kenyataan bahwa tidak semua orang akan memahami proses kita. Kadang, kita akan merasa sendirian. Tapi bukan berarti kita salah. Kita hanya sedang berjalan di jalur yang mungkin belum banyak dilalui. Jalur untuk menjadi perempuan yang utuh, bukan perempuan yang sempurna.

Dalam proses itu, kita juga saling menguatkan. Lewat tulisan, video, pelukan, atau sekedar hadir. Kita belajar menjadi ruang aman untuk satu sama lain. Seperti Kartini yang berkirim surat untuk menyuarakan keresahannya, kita pun saling mengirim pesan, bahwa kita tidak sendiri.

Banyak dari kita yang tumbuh dalam luka, seperti luka pola asuh, luka percintaan, luka dari kata-kata yang membentuk citra diri kita sejak kecil. Tapi hari ini, kita berani menyadari luka itu. Kita tidak menutupinya dengan pura-pura bahagia. Kita memilih untuk menyembuhkannya secara perlahan, setapak demi setapak.

Tidak semua hari terasa mudah. Ada hari-hari ketika kita merasa tidak sanggup lagi. Tapi ingatlah, keberanian bukan berarti tidak takut. Keberanian adalah tetap melangkah, meski dengan gemetar. Dan kamu, perempuan masa kini, sudah melangkah sejauh ini. Itu luar biasa hebat.

Selamat Hari Kartini untuk setiap perempuan yang sedang belajar mencintai dirinya sendiri. Untuk perempuan yang masih berproses. Untuk perempuan yang tidak tahu apa yang akan datang, namun tetap terus mencoba. Untuk perempuan yang terus berkembang meski jalan penuh ketidakpastian.

Kita tidak harus menjadi sempurna untuk dianggap berharga. Kita hanya perlu menjadi diri sendiri, dengan segala luka, cerita, dan cahaya yang kita miliki.

Karena dunia butuh lebih banyak Kartini seperti kamu. Yang tidak hanya memperjuangkan hak-haknya, tapi juga memilih untuk hidup sepenuhnya dengan sadar, jujur, dan berani.

Bagikan Berita